BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hepatitis
Berikut merupakan beberapa pengertian dari hepatitis.
1)
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. “Hepa” berarti kaitan dengan hati,
sementara “itis” berarti radang (Seperti
di atritis, dermatitis, dan pankreatitis) (James, 2005: 4).
2) Hepatitis
merupakan infeksi pada hati, baik disebabkan oleh virus atau tidak. Hepatitis
yang disebabkan oleh virus ada tiga
tipe, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. hepatitis yang tidak disebabkan oleh
virus biasanya disebabkan oleh adanya zat-zat kimia atau obat, seperti karbon
tetraklorida, jamur racun, dan vinyl
klorida (Asep
suryana abdurahmat, 2010: 153).
3) Hepatitis adalah peradangan atau
inflamasi pada hepar yang umumnya terjadi akibat infeksi virus, tetapi dapat
pula disebabkan oleh zat-zat toksik. Hepatitis berkaitan dengan sejumlah
hepatitis virus dan paling sering adalah hepatitis
virus A, hepatitis virus B, serta
hepatitis virus C (Sue
hanclif, 2000: 105).
4) Hepatitis
adalah peradangan hati yang akut karena suatu infeksi atau keracunan (Clifford anderson, 2007:,243).
Dari beberapa
pengetian hepatitis di atas pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu
hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh virus maupun
tidak disebabkan oleh virus.
2.2 Etiologi Hepatitis
Menurut
Price dan Wilson (2005: 485) Secara umum hepatitis disebabkan oleh virus.
Beberapa virus yang telah ditemukan sebagai penyebabnya, berikut ini.
1) Virus hepatitis A (HAV)
2) Virus hepatitis B (HBV)
3) Virus hepatitis C (HCV)
4) Virus hepatitis D (HDV)
5) Virus hepatitis E (HEV)
6) Hepatitis F (HFV)
7) Hepatitis G (HGV)
Namun
dari beberapa virus penyebab hepatitis, penyebab yang paling dikenal adalah HAV
(hepatitis A) dan HBV (hepatitis B). Kedua istilah tersebut
lebih disukai daripada istilah lama yaitu hepatitis “infeksiosa” dan hepatitis “serum”,
sebab kedua penyakit ini dapat ditularkan secara parental dan nonparental (Price
dan Wilson, 2005: 243). Hepatitis pula dapat disebabkan oleh racun, yaitu suatu
keadaan sebagai bentuk respons terhadap reaksi obat, infeksi stafilokokus, penyakit sistematik dan
juga bersifat idiopatik (Sue hincliff,
2000: 205).
2.3 Patofisiologi Hepatitis
Yaitu
perubahan morfologi yang terjadi pada hati, seringkali mirip untuk berbagai
virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran basar
dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar dan pada palpasi
“terasa nyeri di tepian”. Secara histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel hati dalam berbagai
derajat, dan peradangan periportal.
Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut penyakit mereda.
Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosis submasif atau masif dapat
menyebabkan gagal hati fulminan dan
kematian (Price dan Daniel, 2005: 485).
2.4 Manifestasi Klinis Hepatitis
Menurut
Arif mansjoer (2001: 513) Manifestasi klinis
merupakan suatu gejala klinis tentang suatu penyakit yang diderita oleh pasien.
Berikut adalah gejala klinis dari penyakit hapatitis.
1)
Stadium praikterik berlangsung selama 4-7 hari. Pasien
mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia,
mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin
menjadi lebih cokelat.
2)
Stadium ikterik yang berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sclera,kemudian pada kulit seluruh tubuh.keluhan-keluhan
berkurang, tetapi pasien masih lemah, anoreksia,
dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri
tekan.
3)
Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi.
Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir
bulan kedua, karena penyebab yang biasanya berbeda.
Menurut Sriana azis (2002: 232) Gejala-gejala
klinis lain yang dapat dilihat, sebagai berikut.
a)
Gejala yang ditimbulkan oleh virus A, B, C, D, E, dan
virus lain-lain meliputi letih, lesu, lemas dan mata menjadi kuning, urin
seperti teh, rasa tidak enak di perut dan punggung, hati bengkak, bangun tidur
tetap letih, lesu, dan lain-lain. Bila sakitnya berkepanjangan dapat berubah
menjadi kronis dan berkelanjutan menjadi kanker.
b)
Virus B dan C cenderung menjadi kronis (menahun atau
gejala menjadi tetap ada sampai 6 bulan), bila dibiarkan hati menjadi keriput
(sirosis) kemudian menjadi kanker. Komplikasi sirosis meliputi muntah darah,
kanker hati dan koma.
c)
Virus C tidak mempunyai gejala awal langsung akut.
d)
Gagal hepatitis meliputi sindrom kholaemi : tremor,
refleks berlebihan, kejang otot, gerakan khoreiform, kejang-kejang, kemudian
meninggal.
2.5 Diagnosis Keperawatan Hepatitis
Menurut Kathleen speer (2005: 121) Diagnosis
keperawatan merupakan pernyataan tentang masalah aktual dengan aktivitas
kehidupan sehari-hari seperti yang dialami oleh pasien.
1)
Resiko kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
muntah, diare, dan pendarahan.
2)
Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi hati.
3)
Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan anoreksia, diare,
mual atau muntah.
4)
Resiko intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
peningkatan kelelahan.
5)
Resiko infeksi yang berhubungan dengan penyebaran virus
hepatitis melalui kontak dengan pengunjung dan staf.
6)
Isolasi sosial yang berhubungan dengan status isolasi
(jika anak mengidap hepatitis B)
7)
Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di
rumah, penyakit, dan pencegahan kekambuhan.
8)
Ketidakefektifan koping keluarga : penurunan yang
berhubungan dengan rawat nginap di rumah sakit.
9)
Defisit pengetahuan yang berhungan dengan perawatan di
rumah.
2.6 Penatalaksanaan
Menurut Arif mansjoer (2001: 515) Dalam
penatalaksanaan untuk penderita hepatitis dapat harus dilakukan sesuai dengan
sifat-sifat dari hepatitis.
1) Hepatitis Akut
Terdiri dari istirahat, diet, dan
pengobatan medikamentosa.
a)
Istirahat
Pada periode
akut dan keadaan lemah diharuskan untuk istirahat. Istirahat mutlak tidak
terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kekecualian diberikan kepada mereka
dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.
b)
Diet
Jika pasien
mual, tidak nafsu makan atau muntah-muntah sebaiknya di berikan infus. Jika
sudah tidak mual lagi, diberikan makanan yang cukup kalori ( 30 – 35 kalori/kg
BB ) dengan protein cukup ( 1 gr/kg BB ). Pemberin lemak sebenarnya tidak perlu
dibatasi.
c) Medikalmentosa
Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat
penurunan bilirubin darah. Kortikosteroid
dapat digunakan pada kolestatis yang
berkepanjangan, dimana transamenase serum
sudah kembali normal tetapi bilirubin
masih tinggi. Pada keadaan ini dapat diberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari kemudian dilakukan tapering off.
(i) Berikan obat – obat yang bersifat
melindungi hati.
(ii) Antibiotic tidak jelas kegunaannya.
(iii) Jangan diberikan antiemetic. Jika perlu sekali dapat diberikan golongan fenotiazin.
(iv) Vitamin K diberikan pada kasus dengan
kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam keadaan prekoma atau koma,
penanganan seperti koma hepatik.
2) Hepatitis Kronik
Menurut Arif Mansjoer (2001: 515) Obat
yang dinilai bermanfaat untuk pengobatan hepatitis
kronik adalah interferon (IFN).
Obat tersebut adalah suatu protein selular stabil dalam asam yang diproduksi
oleh sel tubuh kita akibat rangsangan virus atau akibat induksi mikroorganisme, asam nukleat, anti gen,
mitogen, dan polimer sintetik.
Interferon mempunyai efek antivirus, imunomodulasi,
dan antiproliferatif.
a)
Hepatitis B
Pemberian
interferon pada penyakit ini ditujukan untuk menghambat replikasi virus
hepatitis B, menghambat nekrosis sel hati oleh karena reaksi radang, dan
mencegah transformasi maigna sel-sel hati. Di indiksikan untuk pasien berikut
ini.
a)
Pasien dengan HbeAG dan HBV-DNA positif
b)
Pasien hepatitis kronik aktif berdasarkan pemeriksaan
histopatologi
c)
Dapat dipertimbangkan pemberian interferon pada hepatitis
fulminan akut meskipun belum banyak dilakukan penelitian pada bidang ini.
Menurut Arif Mansjoer (2001: 515) Diberikan IFN leukosit pada kasus hepatitis kronik aktif dengan dosis sedang 5-10 MU/m2/hari
selama 3-6 bulan. Dapat juga pemberian IFN limfoblastoid 10MU/m2
3kali seminggu selama 3 bulan lebih. Sebagian pasien hepatitis B kronik memberi respon terhadap terapi interferon, ditandai dengan hilangnya
HBV DNA dan serokonversi HbeAG/Anti
Hbe, serokonversi HbsAG/Anti HBs
terjadi pada 7% pasien. Terapi ini harus dilakukan minimal selama 3 bulan.
b)
Hepatitis C
Arif mansjoer (2001: 516) Pemberian interferon bertujuan mengurangi gejala,
mengusahakan perbaikan parameter kimiawi, mengurangi peradangan dalam jaringan
hati, menghambat progresi histopatologi,
menurunkan infektivitas, menurunkan resiko terjadinya hepatoma, dan memperbaiki harapan hidup. Respon tergantung dari
lamanya penyakit dan kelainan histologi. Dosis standar yang bisa dipakai adalah
interferon α dengan dosis 3 x 3 juta
unit/minggu selama 6 bulan. Masih belum jelas menambah waktu pengobatan di atas
9 bulan dapat meningkatkan resppon dan menurunkan angka kambuh.
2.7 Pengobatan Penyakit Hepatitis
Tidak terdapat terapi spesifik untuk
hepatitis virus akut. Tirah baring
selama fase akut penting dilakukan dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat
umumnya merupakan makanan yang paling dapat dimakan oleh penderita. Pemberian
makanan secara intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien
terus-menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi sehingga gejala
mereda dan tes fungsi hati kembali normal (Price dan Wilson, 2005: 492).
Pengobatan terpilih untuk hepatitis
B atau hepatitis C simtomatik adalah terapi antivirus dengan interferon-α.
Terapi antivirus untuk hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental.
Jenis hepatitis kronis ini memiliki resiko tertinggi untuk berkembangnya
sirosis (Price dan wilson, 2005: 492).
Menurut Sriana Azis (2002: 233) Obat
hepatitis hanya diperoleh dengan resep dokter. Namun terdapat obat alternatif
sebagai tambahan obat yag diberikan dokter.
1)
Rebus selama 15 menit seperempat rimpang temulawak, 5
siung bawang putih, 15 biji cengkeh, 3 cabe merah, dan gila merah. Kemudian
diminum selama setiap hari selama 6 bulan atau sampai merasa sehat dan tetap
berkonsultasi dengan dokter.
2)
Makan rebusan kerang dan airnya setiap hari selam 6 bulan
atau sampai merasa sehat dan berkonsultasi dengan dokter.
2.8 Pencegahan Penyakit Hepatitis
Pencegahan adalah cara awal yang
dapat dilakukan untuk menghambat suatu penyakit menyerang tubuh kita. Sama
halnya dengan hepatitis dapat dilakukan pencegahan sesuai dengan jenis virus
penyebabnya sebagai berikut.
2.8.1 Terhadap virus hepatitis A
1)
Penyebaran
secara fekal-oral, pencegahan masih sulit karena adanya karier dari virus tipe
A yang sulit ditetapkan.
2)
Virus
ini resisten terhadap cara-cara sterilisasi biasa, termasuk klorinasi. Sanitasi
yang sempurna, kesehatan umum, dan pembuangan tinja yang baik sangat penting.
Tinja, darah, dan urin pasien harus dianggap infeksius. Virus dikeluarkan di
tinja mulai sekitar 2 minggu sebelum
ikterus.
2.8.2 Terhadap
virus hepatitis B
1)
Dapat
ditularkan melalaui darah dan produk darah. Darah tidak dapt disterilkan dari
virus hepatitis. Pasien hepatitis sebaiknya tidak menjadi donor darah.
2)
Usaha
pencegahan yang paling efektif adalah imunisasi. Imunisasi hepatitis B
dilakukan terhadap bayi-bayi setelah dilakukan penyaring HBsAg pada ibu-ibu
hamil.
2.8.3 Pencegahan
dengan immunoglobulin
Pemberian
immunoglobulin (HBIg) dalam
pencegahan hepatitis infeksiosa memberi
pengaruh yang baik, sedangkan pada hepatitis
serum masih diragukan kegunaannya. Diberikan dalam dosis 0,02 ml/kg BB im
dan ini dapat mencengah timbulya gejala pada 80-90 %. Diberikan pada mereka
yang dicurigai ada kontak dengan pasien (Arif mansjoer, 2001: 513).
Pengobatan lebih ditekankan pada
pencegahan melalui imunisasi, dikarenakan keterbatasan pengobatan hepatitis virus. Kini tersedia imunisasi
pasif dan aktif untuk HAV maupun HBV. CDC (2000) telah menerbitkan rekomendasi
untuk praktik penberian imunisasi sebelum dan sesudah pejanan virus (Price dan
Wilson, 2005: 492).
Imunoglobulin
(IG) dahulu disebut globulin serum
imun,diberikan sebagai perlindungan sebelum terpajan HAV. Semua sediaan IG
mengandung anti HAV. Profilaksis
sebelum pejanan dianjurkan untuk wisatawan manca negara yang akan berkunjung ke
negara-negara endemis HAV. Pemberian IG pasca pajanan bersifat efektif dalam
mencegah atau mengurangi keparahan infeksi HAV. Dosis 0,02 ml/kg diberikan
sesegara mungkin atau dalam waktu dua minggu setelah perjalanan. Inokulasi dengan IG diindikasikan bagi
anggota keluarga yang tinggal serumah, sftaf pusat penitipan anak, pekerja di
panti asuhan, dan wisatawan ke negara berkembang dan tropis (Price dan wilson, 2005:
492).
HBIG merupakan obat terpilih untuk profilaksis
pasca pajanan jangka pendek. Pemberian vaksin HBV dapat dilakukan bersamaan
untuk mendapatkan imunitas jangka panjang, bergantung pada situasi pajanan.
HBIG (0.06 ml/kg) adalah pengobatan terpilih untuk mencegah infeksi HBV setelah
suntikan perkutan (jarum suntik) atau mukosa
terpajan darah HbsAg posotif. Vaksin HBV harus segera diberikan dalam waktiu 7
sampai 14 hari bila individu yang terpajan belum divaksinasi (Price dan Wilson,
2005: 493).
Petugas yang terlibat dalam kontak
risiko tinggi (misal pada hemodialisis, transfusi tukarm dan terapi parental)
perlu sangat berhati-hati dalam menangani peralatan dan menghindari tusukan
jarum. Tindakan dalam masyarakat yang penting untuk mencegah hepatitis mencakup
penyediaan makanan, dan air bersih yang amam serta sistem pembuangan sampah yang
efektif. Penting untuk memperhatikan higiene
umum, mencuci tangan, membuang urin dan feses pasien yang terinfeksi secara
aman. Pemakaian kateter, jarum suntik, dan spuit sekali pakai akan
menghilangkan sumber infeksi yang penting. Semua donor darah perlu disaring terhadap
HAV, HBV, dan HCV sebelum diterima menjadi panel donor (Price dan Wilson, 2005:
493).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar