Selasa, 16 Juli 2013

Empat Minggu Masih Tetap Sama



Ku buka handphone-ku, tak ada lagi kamu yang slalu memenuhi inbox-ku, tak ada lagi ucapan slamat pagi dan slamat tidur untukku. Tak ada lagi canda tawamu yang slalu mengiringiku dalam kebahagiaan, tak ada lagi leluconmu bahkan gombalanmu yang membuatku slalu tertawa. Tak ada lagi tatapan yang membuat jantungku berdebar. Tak ada lagi genggaman tangan mu yang slalu membuatku kuat akan setiap masalah yang menghampiriku dan membuatku merasa aman. Kini ada sesuatu yang hilang, tak lagi sama seperti dulu. Tidak terasa sudah empat minggu kepergianmu.
Empat minggu harusnya waktu yang cukup untuk bisa sedikit demi sedikit menghilangkan perasaan. Tapi lain halnya dengan apa yang aku alami. Empat minggu tidak mampu menghapus sedikitpun kenangan dari kita. Semuanya masih utuh, tak hilang barang sedetikpun dalam fikiranku, ingatan ku masih tajam untuk mengenang kita yang dulu pernah ada. Hari berganti minggu, kamu masih tetap berdiam didalam fikiran ini, masih menjadi penunggu didalam hati ini, menguji imanku dan menyergap semua perhatian. Kamu masih menjadi tokoh utama dalam setiap cerita-cerita kehidupanku. Kita yang slalu tertawa bersama dalam setiap candaan, dalam setiap pesan singkat, dalam setiap sambungan telepon, maupun dalam setiap tatap mata. Saat itu kamu yang begitu keras meyakinkan aku sehingga membuat aku percaya bahwa kamu tidak seperti pria lainnya, kamu yang merubah persepsiku bahwa cinta tidak memandang status. Hadirmu membuatku percaya bahwa kita sedang menuju ambang bahagia, aku dan kamu sedang dalam perjalanan menuju ujung pencarian kita. Tapi aku yang slalu kamu yakini, ternyata bisa juga salah. Aku salah mengartikan smuanya. Kukira segala ungkapan dan ucapanmu adalah hal mutlak yang bisa aku pegang. Ternyata semua hanya omong kosong belaka. Yang kukira perasaanmu nyata, ternyata hanya rasa yang pura-pura kau seriusi. Kau butakan mata dan tulikan telinga, hingga aku tak bisa membedakan mana cinta dan mana dusta. Aku tak tahu apakah rasa sayang yang slama ini kau bisikan dalam telingaku, hanyalah bualan yang kau pikir bisa dijadikan bahan candaan? Kamu pernah berjanji, ketika aku menceritakan pengalamanku, ketika aku tidak akan pernah lagi mempercayai ucapan pria. Tapi kamu malah meyakinkan aku “bg tau kok, gak mudah bikin ayang percaya, sangat-sangat gak mudah, tapi bg usahain gak bakal bikin pengalaman buruk yang baru bagi ayang, bg janji”. Kalau aku diizinkan mengungkit segalanya, lalu mengapa kau pergi disaat aku mulai percaya dengan cinta yang kau yakini.
Setelah kepergianmu, aku tak tahu lagi kabarmu, bahkan kamu juga tidak ingin tahu kabarku,  dan bahkan untuk sedikit saja menyapaku kamu tidak mau. Rasanya inginku katakan berkali-kali bukan ini yang aku mau. Kembali, melupakan dan merelakan merupakan dua hal yang tidak bisa aku pisahkan. Aku slalu mengingatmu, meskiku tahu itu menyakitkan. Teman-temanku sering bilang “udah lah dek jangan fikirin orang kayak gitu lagi, jahat dia udah bikin kamu kayak gini, adek bisa dapetin orang yang lebih dari dia”. Mereka juga bilang bahwa harusnya aku tak mempertahankanmu sedalam ini, harusnya aku tidak perlu mempercayaimu sedalam itu. Tapi mengapa perasaan ini tetap ada padamu? Mengapa perasaan ini hanya ingin meyakinimu? Aku terlalu buta untuk memahami semua ini. Dan telingaku terlalu tuli untuk mendengarkan sekelilingku. Walau kata-kata itu terlihat kasar tapi bagiku itu masih terlihat lembut. Aku tetap mencintaimu bahkan dalam kesakitanku. Kamu yang telah pergi, terimakasih untuk setiap harapan yang kau hempaskan, setiap janji manis yag slalu meyakinkanku untuk mempercayaimu. Aku mengerti seharusnya dari awal ketika kau datang, aku tak perlu menggubrismu sehingga aku tak terluka separah ini.
            Aku berharap hari-hariku bisa berjalan dengan mulus seperti biasanya. Walau tak ada kamu disampingku. Kini aku mencoba menjalani aktivitasku seperti biasa, tanpa ada dirimu yang menemaniku setiap harinya. Aku harus tetap tegar dengan semua ini. Setelah kepergianmu aku menyadari betapa aku mencintaimu, setelah kepargianmu, kamu merampas semua cinta dan kebahagiaan yang ku punya, melarikan ketempat asing yang justru tak tahu dimana keberadaannya. Siksaanmu begitu besar untukku dan aku terlalu lemah untuk mendapatkan cobaan ini, aku begitu lemah untuk mendapatkan goresan luka dalam benakku yang semakin hari semakin bertambah. Aku marah pada diriku sendiri, mengapa aku begitu sulit untuk melupakanmu? Sedangkan kamu disana dengan mudahnya melupakanku. Tuhan, ini sungguh tidak adil bagiku. Ingin rasanya aku hilang ingatan, agar aku tak mengenalmu dan kenangan dulu bisa terhapus didalam memory otakku. Mungkin itulah jalan satu-satunya untuk saat ini.
Hari berganti hari, dan minggu berganti minggu aku terus menjalani hidupku tanpa dirimu. Dan setiap hari aku hanya slalu memikirkan apakah kamu disana slalu memikirkanku? Seperti aku yang slalu memikirkanmu. Aku hanya ingin tahu isi hatimu saat ini. Apa kamu tak pernah berfikir tentang isi hatiku saat ini? Yang semakin hari semakin mendung karena tak ada lagi yang menyinari hatiku.
            Di dalam mimpiku kamu slalu ada untukku dan kamu milikku. Tapi ternyata, di dalam kehidupan nyata, kamu hanyalah mimpi untukku dan aku sulit menggapaimu kembali. Tak ada hal yang mampu aku perjuangkan selain membiarkanmu pergi dan merelakanmu. Jujur, aku menunggu saaat-saat aku dan kamu bisa melebur menjadi satu kembali. Saat kamu dan aku melupakan perbedaan kita, saat aku tak peduli apa profesimu dan kamu tak peduli profesiku, saat aku tak peduli dengan harta dan masalah duniawi lainnya. Dan kuterima kau dalam keadaan terburukmu. Aku sudah berada dalam titik itu, tapi kau terus diam tak ingin aku ajak berjalan dan melangkah terlalu jauh. Diantara rasa lelah menunggu ini, dan diantara kesabaran merindu ternyata aku masih berani memasukkanmu didalam setiap doaku. Aku berusaha menikmati kesedihanku, kesakitanku hingga aku terbiasa akan semua hal itu. Aku punya Tuhan, keluarga, dan sahabat.  Aku percaya pada Tuhan, Tuhan pasti sedang menguji kesabaranku saat ini, dan pasti ada jalan keluar dibalik ini semua. Mungkin dimataku kamu yang terbaik untukku, tapi belum tentu kata Tuhan kamu yang terbaik untukku. Aku percaya dan yakin bahwa skenario Tuhan adalah yag paling indah.
            Sudahlah, aku hanya ingin memberitahu empat minggu setelah perpisahan kita, tak banyak hal yang berubah. Langitku masih mendung, lukaku masih merah, hatiku masih lebam, ingatanku masih keram. Kamu yang kukenal baik, lugu, rendah hati dan tidak banyak tingkah, kini sudah berubah. Tiba-tiba berubah menjadi sadis. Kamu berganti-ganti wajah, membiarkanku kebingungan ditengah keramaian untuk membedakan dirimu yang begitu abu-abu. Dan disini aku masih sibuk untuk menyembuhkan lukaku, yang tetap mencintaimu meski dalam kesakitanku. Masih berjuang melawan hati yang tak ingin terpisah !